PROFIL

Foto saya
Nama saya Azies Saputra, biyasa dipanggil Azies. Saya lahir di jakarta pd tanggal 20 0ktober secara Normal di Rumah Sakit. Saya mempunyai Orang tua dan seorang Kaka yg sangat saya sayangi. Ayah saya bernama Sadiran dan Ibu saya bernama Widaryatmi, Kaka saya bernama Febry Eko Saputra, dia sedang menimba Ilmu di UNS solo.

Senin, 04 Januari 2010

Standar Isi dan Standar Kompetensi lulusan

Permendiknas Standar Isi dan Kompetensi Minim Sosialisasi
Jakarta (Suara Pembaruan: 27/07/06) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) diminta untuk menyosialisasikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23/2006 tentang Standar Kompetensi. Sampai saat ini, belum semua sekolah di Jakarta mengetahui adanya Permendiknas tersebut. Pengajar SMA 19 Jakarta Barat, Laili Hadiati, ketika dihubungi Pembaruan, Rabu (26/7), mengatakan sampai saat ini sekolahnya belum menerima Permendiknas yang akan mengubah kurikulum di kelas. "Belum ada informasi yang kami terima tentang peraturan baru. Saya tanya ke bagian kurikulum di sekolah, katanya belum ada. Tetapi setelah bertanya-tanya, katanya tidak banyak berbeda dengan kurikulum 2004," katanya.

Laili mengatakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) belum membahas Permendiknas tersebut lantaran informasi yang diterima belum lengkap. Tetapi, bila informasi itu menyatakan tidak ada perubahan signifikan kurikulum, seperti termaktub dalam Permendiknas, otomatis tidak akan ada perubahan di kelas, seperti yang diinginkan pemerintah.

Inkonsistensi
Secara terpisah, pengamat pendidikan Darmaningtyas menyatakan lahirnya kedua Permendiknas itu merupakan sikap inkonsistensi pemerintah. "Lahirnya Permendiknas tersebut merupakan cerminan inkonsistensi dan kebingungan pengambil kebijakan. Otonomi pembuatan kurikulum diberikan kepada satuan pendidikan, namun otonomi evalusi tidak diberikan karena pemerintah tetap menyelenggarakan ujian nasional (UN)," katanya ketika dihubungi Pembaruan, Kamis (27/7).

Dikemukakan, Permendiknas yang baru lahir itu akan menimbulkan kurikulum yang variatif. Namun, pemerintah juga mengharapkan munculnya standar hasil akhir yang sama. Darmaningtyas menambahkan, otonomi kurikulum yang termaktub dalam Permendiknas tersebut menelurkan konsekuensi penggunaan beragam buku pelajaran.
"Tidak ada lagi yang disebut buku paket. Yang akan terjadi, sekolah akan memakai kurikulum yang disusun BSNP. Oleh karena itu, dalam sektor pendidikan tetap terjadi sentralisasi kurikulum," tegasnya.

Memasung Kreativitas
Pandangan senada disampaikan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Susi Fitri. Dia mengatakan Permendiknas justru memasung kreativitas guru. "Standar isi dan Kompetensi yang termaktub dalam Permendiknas tersebut akan bertentangan dengan keinginan pendidikan kita untuk lebih kreatif. Mengapa? Karena Permendiknas sangat mengikat dengan standar yang sangat detail. Apalagi dengan adanya UN yang justru bertentangan dengan napas KBK," katanya. Kalau memang Permendiknas itu dianggap akan membuat kurikulum variatif, akan sangat bijaksana jika UN ditiadakan.

Akreditasi Sekolah

Badan Akreditasi Sekolah (BAS) adalah sebuah badan yang berhak memberikan penilaian kepada sekolah-sekolah. Ini adalah salah satu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini, yang dari tahun ke tahun terus merosot. Meskipun seruan peningkatan mutu pendidikan bukan barang baru, ada semangat positif dari kebijakan.

Berbeda dengan sistem penilaian dahulu, di mana yang dinilai hanya sekolah swasta untuk mendapatkan predikat disamakan atau diakui, kini sekolah negeri pun dinilai untuk mendapatkan predikat terakreditasi. Di tengah menggebunya semangat meningkatkan mutu pendidikan kita, ada sesuatu yang perlu diingatkan kembali di sini.

Setidaknya ada dua pertanyaan pokok yang muncul di sini. Pertama, bagaimana kebijakan ini bisa sejalan dengan semangat pemerintah menyerukan otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah? Kedua, bisakah penilaian yang dilakukan tim assessor objektif?

Sentralisasi Vs Otonomi

Ini isu penting yang perlu didiskusikan dalam konteks akreditasi sekolah karena dua kata tersebut sama-sama sebagai produk pemerintah. Sentralisasi memberi penekanan kuat pada peran pemerintah mengawasi dan menilai mutu sebuah sekolah. Sebaliknya, otonomi adalah semangat dari bawah untuk mengatur, mengawasi dan menilai mutu sekolahnya sendiri.

Dalam semangat manajemen berbasis sekolah dan menajemen kualitas total (total quality management), kata "sendiri" bukan hanya sekolah itu saja, melainkan masyarakat setempat di mana mereka adalah pengguna utama jasa suatu lembaga pendidikan. Kebijakan akreditasi sekolah merupakan kebijakan di mana peran mengawasi dan menilai diambil alih pemerintah. Tim assessor sekolah merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk mengawasi dan menilai mutu sebuah sekolah. Tidak bisa tidak, hal ini akan berbenturan dengan semangat yang kedua, di mana semangat tersebut memberi keleluasaan dan kebebasan sebuah sekolah mengurus dirinya sendiri, termasuk menerapkan kurikulum yang sedikit berbeda. Pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, bukan sebagai assessor. Kini dan ke depan, semangat kedua ini yang justru harus didorong dan dikembangkan. Yang akan menilai sebuah sekolah itu bermutu atau tidak adalah masyarakat sebagai pengguna utama lembaga pendidikan.

Apabila argumentasi pemerintah menerapkan kebijakan ini adalah terjaminya mutu pendidikan secara nasional, muncul pertanyaan, "Mutu seperti apa yang ingin dibangun?" Ada pemahaman yang sering tidak pas tentang istilah tersebut.

Istilah mutu banyak dikaitkan pencapaian siswa (student achievement), yang lebih identik dengan nilai yang bagus. Dalam pandangan umum, sebuah sekolah dikatakan bermutu apabila siswanya mampu mendapatkan nilai tinggi di setiap ujian, baik ujian sekolah maupun nasional. Sekolah tersebut lantas diberi predikat sekolah yang bermutu.

Nilai bagus tersebut sesungguhnya karena siswanya memang pintar. Dalam pandangan sekolah yang modern (baca: menerapkan kurikulum dan manajemen berbeda), yang menginginkan otonomi pendidikan, pandangan tentang mutu sebuah sekolah sering berbeda dengan pandangan di atas. Mutu pendidikan lebih dilihat upaya memperlakukan siswa menjadi lebih manusiawi (baca: memanusiakan manusia).

Pandangan semacam ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kurikulum, metode pengajaran, serta pola interaksi guru dan murid yang diterapkan di sekolah yang bersangkutan. Sekolah semacam itu sering memerlukan kriteria penilaian yang berbeda. Kenyataannya, ada banyak sekolah yang mencoba menerapkan kurikulum dan metode pembelajaran yang berbeda.

Dalam hal ini tim asesor harus benar-benar menyadari pemerintah ingin meningkatkan mutu pendidikan dan memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk mengurus, mengawasi dan menilai sendiri mutu sekolahnya, melalui otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah.

Objektivitas Penilaian

Isu ini tidak kalah penting untuk dibicarakan. Objektivitas instrumen penilaiannya tidak diragukan. Dalam draf Badan Akreditasi Sekolah Nasional (Basnas) terdapat sembilan komponen yang akan dinilai dan itu sudah menyangkut hampir semua aspek yang perlu diperhatikan lembaga pendidikan. Sembilan komponen penilaian itu adalah :

1. Proses belajar mengajar dan kurikulum
2. Ketersediaan sarana pendidikan
3. Ketenagaan, mencakup guru dan staf tata usaha
4. Pembiayaan
5. Manajemen yang diterapkan
6. Kesiswaan
7. Partisipasi masyarakat
8. Kelembagaan atau organisasi
9. Kultur sekolah dalam mendorong suasana kondusif untuk belajar. ()

Yang perlu didiskusikan di sini adalah menyangkut sumber daya manusia dari tim assessor itu sendiri. Apakah tim assessor sungguh lebih memahami mengenai mutu sekolah daripada sumber daya manusia di lembaga pendidikan itu sendiri. Jangan sampai terjadi dahulu ketika sekolah-sekolah swasta dinilai mendapatkan predikat disamakan atau diakui.

Waktu itu semangat yang berkembang adalah sekolah swasta lebih bermutu daripada sekolah negeri mana pun. Lantas sekolah tersebut disamakan dengan sekolah mana? Untunglah pemerintah menyadari keadaan ini, di mana banyak negeri mutunya justru lebih rendah daripada sekolah-sekolah swasta.

Objektivitas penilaian juga menyangkut masalah klasik, yaitu soal KKN. Tidak bisa tidak, semua sekolah berlomba mendapatkan predikat "terakreditasi A", terutama berkaitan gengsi dan nilai jual sebuah sekolah di mata masyarakat. Ini rawan terhadap kecurangan untuk mendapatkan predikat tersebut.

Tim assessor dapat mudah tergoda dengan sejumlah iming-iming dari sekolah yang tidak ingin mendapatkan predikat C karena sebagai akibatnya sekolah tersebut tidak boleh mengadakan ujian sendiri dan menerbitkan ijazah sendiri. Atau sebaliknya, tim assessor menerapkan kriteria tambahan, semacam kesepakatan-kesepakatan di luar kriteria yang resmi, agar tidak mendapatkan predikat C.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan situasi akreditasi terhadap perguruan tinggi swasta yang terjadi kini. Gejala ini dapat mewabah ke sekolah-sekolah untuk berlomba mendapatkan predikat A dengan tidak melalui prosedur yang benar. Alhasil akreditasi sekolah hanya menjadi sebuah lelucon baru dalam kancah pendidikan kita, meskipun tujuannya bagus.

STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN

STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN
OLEH SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
A. PERENCANAAN PROGRAM
1. Visi Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah merumuskan dan menetapkan visi serta mengembangkannya.
b. Visi sekolah/madrasah:
1). dijadikan sebagai cita-cita bersama warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan pada masa yang akan datang;
2). mampu memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan pada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan;
3). dirumuskan berdasar masukan dari berbagai warga sekolah/madrasah dan pihak-pihak yang berkepentingan, selaras dengan visi institusi di atasnya serta visi pendidikan nasional;
4). diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah dengan memperhatikan masukan komite sekolah/madrasah;
5). disosialisasikan kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan;
6). ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan dan tantangan di masyarakat.
2. Misi Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah merumuskan dan menetapkan misi serta mengembangkannya.
b. Misi sekolah/madrasah:
1). memberikan arah dalam mewujudkan visi sekolah/madrasah sesuai dengan tujuan pendidikan nasional;
2). merupakan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu;
3). menjadi dasar program pokok sekolah/madrasah;
4). menekankan pada kualitas layanan peserta didik dan mutu lulusan yang diharapkan oleh sekolah/madrasah;
5). memuat pernyataan umum dan khusus yang berkaitan dengan program sekolah/madrasah;
6). memberikan keluwesan dan ruang gerak pengembangan kegiatan satuan-satuan unit sekolah/madrasah yang terlibat;
7). dirumuskan berdasarkan masukan dari segenap pihak yang berkepentingan termasuk komite sekolah/madrasah dan diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah;
8). disosialisasikan kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan;
9). ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan dan tantangan di masyarakat.
3. Tujuan Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah merumuskan dan menetapkan tujuan serta mengembangkannya.
b. Tujuan sekolah/madrasah:
1). menggambarkan tingkat kualitas yang perlu dicapai dalam jangka menengah (empat tahunan);
2). mengacu pada visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan masyarakat;
3). mengacu pada standar kompetensi lulusan yang sudah ditetapkan oleh sekolah/madrasah dan Pemerintah;
4). mengakomodasi masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan termasuk komite sekolah/madrasah dan diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah;
5). disosialisasikan kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan.
4. Rencana Kerja Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah membuat:
1). rencana kerja jangka menengah yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu empat tahun yang berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan perbaikan komponen yang mendukung peningkatan mutu lulusan;
2). rencana kerja tahunan yang dinyatakan dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah/Madrasah (RKA-S/M) dilaksanakan berdasarkan rencana jangka menengah.
b. Rencana kerja jangka menengah dan tahunan sekolah/madrasah:
1). disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah/madrasah dan disahkan berlakunya oleh dinas pendidikan kabupaten/kota. Pada sekolah/madrasah swasta rencana kerja ini disahkan berlakunya oleh penyelenggara sekolah/madrasah;
2). dituangkan dalam dokumen yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait.
c. Rencana kerja empat tahun dan tahunan disesuaikan dengan persetujuan rapat dewan pendidik dan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
d. Rencana kerja tahunan dijadikan dasar pengelolaan sekolah/madrasah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
e. Rencana kerja tahunan memuat ketentuan yang jelas mengenai:
1). kesiswaan;
2). kurikulum dan kegiatan pembelajaran;
3). pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangannya;
4). sarana dan prasarana;
5). keuangan dan pembiayaan;
6). budaya dan lingkungan sekolah;
7). peranserta masyarakat dan kemitraan;
8). rencana-rencana kerja lain yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan mutu.
B. PELAKSANAAN RENCANA KERJA
1. Pedoman Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah membuat dan memiliki pedoman yang mengatur berbagai aspek pengelolaan secara tertulis yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait.
b. Perumusan pedoman sekolah/madrasah:
1). mempertimbangkan visi, misi dan tujuan sekolah/madrasah;
2). ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan masyarakat.
c. Pedoman pengelolaan sekolah/madrasah meliputi:
1). kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP);
2). kalender pendidikan/akademik;
3). struktur organisasi sekolah/madrasah;
4). pembagian tugas di antara guru;
5). pembagian tugas di antara tenaga kependidikan;
6). peraturan akademik;
7). tata tertib sekolah/madrasah;
8). kode etik sekolah/madrasah;
9). biaya operasional sekolah/madrasah.
d. Pedoman sekolah/madrasah berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaan operasional.
e. Pedoman pengelolaan KTSP, kalender pendidikan dan pembagian tugas pendidik dan tenaga kependidikan dievaluasi dalam skala tahunan, sementara lainnya dievaluasi sesuai kebutuhan.
2. Struktur Organisasi Sekolah/Madrasah
a. Struktur organisasi sekolah/madrasah berisi tentang sistem penyelenggaraan dan administrasi yang diuraikan secara jelas dan transparan.
b. Semua pimpinan, pendidik, dan tenaga kependidikan mempunyai uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas tentang keseluruhan penyelenggaraan dan administrasi sekolah/madrasah.
c. Pedoman yang mengatur tentang struktur organisasi sekolah/madrasah:
1). memasukkan unsur staf administrasi dengan wewenang dan tanggungjawab yang jelas untuk menyelenggarakan administrasi secara optimal;
2). dievaluasi secara berkala untuk melihat efektifitas mekanisme kerja pengelolaan sekolah;
3). diputuskan oleh kepala sekolah/madrasah dengan mempertimbangkan pendapat dari komite sekolah/madrasah.
3. Pelaksanaan Kegiatan Sekolah/Madrasah
a. Kegiatan sekolah/madrasah:
1). dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tahunan;
2). dilaksanakan oleh penanggung jawab kegiatan yang didasarkan pada ketersediaan sumber daya yang ada.
b. Pelaksanaan kegiatan sekolah/madrasah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan perlu mendapat persetujuan melalui rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah.
c. Kepala sekolah/madrasah mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan bidang akademik pada rapat dewan pendidik dan bidang nonakademik pada rapat komite sekolah/madrasah dalam bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan sebelum penyusunan rencana kerja tahunan berikutnya.
4. Bidang Kesiswaan
a. Sekolah/Madrasah menyusun dan menetapkan petunjuk pelaksanaan operasional mengenai proses penerimaan peserta didik yang meliputi:
1). Kriteria calon peserta didik:
(a) SD/MI berusia sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun, pengecualian terhadap usia peserta didik yang kurang dari 6 (enam) tahun dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dari pihak yang berkompeten, seperti konselor sekolah/madrasah maupun psikolog;
(b) SDLB/SMPLB/SMALB berasal dari peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, intelektual, mental, sensorik, dan/atau sosial;
(c) SMP/MTs berasal dari lulusan SD, MI, Paket A atau satuan pendidikan bentuk lainnya yang sederajat;
(d) SMA/SMK, MA/MAK berasal dari anggota masyarakat yang telah lulus dari SMP/MTs, Paket B atau satuan pendidikan lainnya yang sederajat.
2). Penerimaan peserta didik sekolah/madrasah dilakukan:
(a) secara obyektif, transparan, dan akuntabel sebagaimana tertuang dalam aturan sekolah/madrasah;
(b) tanpa diskriminasi atas dasar pertimbangan gender, agama, etnis, status sosial, kemampuan ekonomi bagi SD/MI, SMP/MTs penerima subsidi dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;
(c) berdasar kriteria hasil ujian nasional bagi SMA/SMK, MA/MAK, dan kriteria tambahan bagi SMK/MAK;
(d) sesuai dengan daya tampung sekolah/madrasah.
3). Orientasi peserta didik baru yang bersifat akademik dan pengenalan lingkungan tanpa kekerasan dengan pengawasan guru.
b. Sekolah/Madrasah:
1). memberikan layanan konseling kepada peserta didik;
2). melaksanakan kegiatan ekstra dan kokurikuler untuk para peserta didik;
3). melakukan pembinaan prestasi unggulan;
4). melakukan pelacakan terhadap alumni.
5. Bidang Kurikulum dan Kegiatan Pembelajaran
a. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
1). Sekolah/Madrasah menyusun KTSP.
2). Penyusunan KTSP memperhatikan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, dan peraturan pelaksanaannya.
3). KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah, potensi atau karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
4). Kepala Sekolah/Madrasah bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
5). Wakil Kepala SMP/MTs dan wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum bertanggungjawab atas pelaksanaan penyusunan KTSP.
6). Setiap guru bertanggungjawab menyusun silabus setiap mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan Panduan Penyusunan KTSP.
7). Dalam penyusunan silabus, guru dapat bekerjasama dengan Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), atau Perguruan Tinggi.
8). Penyusunan KTSP tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan SDLB, SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang bertanggungjawab di bidang pendidikan. Khusus untuk penyusunan KTSP Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan untuk SDLB, SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama.
9). Penyusunan KTSP tingkat MI dan MTs dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan MA dan MAK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.
b. Kalender Pendidikan
1). Sekolah/Madrasah menyusun kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan ekstrakurikuler, dan hari libur.
2). Penyusunan kalender pendidikan/akademik:
(a) didasarkan pada Standar Isi;
(b) berisi mengenai pelaksanaan aktivitas sekolah/madrasah selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan mingguan;
(c) diputuskan dalam rapat dewan pendidik dan ditetapkan oleh kepala sekolah/madrasah.
3). Sekolah/Madrasah menyusun jadwal penyusunan KTSP.
4). Sekolah/Madrasah menyusun mata pelajaran yang dijadwalkan pada semester gasal, dan semester genap.
c. Program Pembelajaran
1). Sekolah/Madrasah menjamin mutu kegiatan pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dan program pendidikan tambahan yang dipilihnya.
2). Kegiatan pembelajaran didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, dan peraturan pelaksanaannya, serta Standar Proses dan Standar Penilaian.
3). Mutu pembelajaran di sekolah/madrasah dikembangkan dengan:
(a) model kegiatan pembelajaran yang mengacu pada Standar Proses;
(b) melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis;
(c) tujuan agar peserta didik mencapai pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual yang berupa berpikir, berargumentasi, mempertanyakan, mengkaji, menemukan, dan memprediksi;
(d) pemahaman bahwa keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses belajar yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan mendalam untuk mencapai pemahaman konsep, tidak terbatas pada materi yang diberikan oleh guru.
4). Setiap guru bertanggungjawab terhadap mutu perencanaan kegiatan pembelajaran untuk setiap mata pelajaran yang diampunya agar peserta didik mampu:
(a) meningkat rasa ingin tahunya;
(b) mencapai keberhasilan belajarnya secara konsisten sesuai dengan tujuan pendidikan;
(c) memahami perkembangan pengetahuan dengan kemampuan mencari sumber informasi;
(d) mengolah informasi menjadi pengetahuan;
(e) menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah;
(f) mengkomunikasikan pengetahuan pada pihak lain; dan
(g) mengembangkan belajar mandiri dan kelompok dengan proporsi yang wajar.
5). Kepala sekolah/madrasah bertanggungjawab terhadap kegiatan pembelajaran sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Pemerintah.
6). Kepala SD/MI/SDLB/SMPLB/SMALB, wakil kepala SMP/MTs, dan wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum bertanggungjawab terhadap mutu kegiatan pembelajaran.
7). Setiap guru bertanggungjawab terhadap mutu kegiatan pembelajaran untuk setiap mata pelajaran yang diampunya dengan cara:
(a) merujuk perkembangan metode pembelajaran mutakhir;
(b) menggunakan metoda pembelajaran yang bervariasi, inovatif dan tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran;
(c) menggunakan fasilitas, peralatan, dan alat bantu yang tersedia secara efektif dan efisien;
(d) memperhatikan sifat alamiah kurikulum, kemampuan peserta didik, dan pengalaman belajar sebelumnya yang bervariasi serta kebutuhan khusus bagi peserta didik dari yang mampu belajar dengan cepat sampai yang lambat;
(e) memperkaya kegiatan pembelajaran melalui lintas kurikulum, hasil-hasil penelitian dan penerapannya;
(f) mengarahkan kepada pendekatan kompetensi agar dapat menghasilkan lulusan yang mudah beradaptasi, memiliki motivasi, kreatif, mandiri, mempunyai etos kerja yang tinggi, memahami belajar seumur hidup, dan berpikir logis dalam menyelesaikan masalah.
d. Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik
1). Sekolah/Madrasah menyusun program penilaian hasil belajar yang berkeadilan, bertanggung jawab dan berkesinambungan.
2). Penyusunan program penilaian hasil belajar didasarkan pada Standar Penilaian Pendidikan.
3). Sekolah/Madrasah menilai hasil belajar untuk seluruh kelompok mata pelajaran, dan membuat catatan keseluruhan, untuk menjadi bahan program remedial, klarifikasi capaian ketuntasan yang direncanakan, laporan kepada pihak yang memerlukan, pertimbangan kenaikan kelas atau kelulusan, dan dokumentasi.
4). Seluruh program penilaian hasil belajar disosialisasikan kepada guru.
5). Program penilaian hasil belajar perlu ditinjau secara periodik, berdasarkan data kegagalan/kendala pelaksanaan program termasuk temuan penguji eksternal dalam rangka mendapatkan rencana penilaian yang lebih adil dan bertanggung jawab.
6). Sekolah/Madrasah menetapkan prosedur yang mengatur transparansi sistem evaluasi hasil belajar untuk penilaian formal yang berkelanjutan.
7). Semua guru mengembalikan hasil kerja siswa yang telah dinilai.
8). Sekolah/Madrasah menetapkan petunjuk pelaksanaan operasional yang mengatur mekanisme penyampaian ketidakpuasan peserta didik dan penyelesaiannya mengenai penilaian hasil belajar.
9). Penilaian meliputi semua kompetensi dan materi yang diajarkan.
10). Seperangkat metode penilaian perlu disiapkan dan digunakan secara terencana untuk tujuan diagnostik, formatif dan sumatif, sesuai dengan metode/strategi pembelajaran yang digunakan.
11). Sekolah/Madrasah menyusun ketentuan pelaksanaan penilaian hasil belajar sesuai dengan Standar Penilaian Pendidikan.
12). Kemajuan yang dicapai oleh peserta didik dipantau, didokumentasikan secara sistematis, dan digunakan sebagai balikan kepada peserta didik untuk perbaikan secara berkala.
13). Penilaian yang didokumentasikan disertai bukti kesahihan, keandalan, dan dievaluasi secara periodik untuk perbaikan metode penilaian.
14). Sekolah/Madrasah melaporkan hasil belajar kepada orang tua peserta didik, komite sekolah/madrasah, dan institusi di atasnya.
e. Peraturan Akademik
1). Sekolah/Madrasah menyusun dan menetapkan Peraturan Akademik.
2). Peraturan Akademik berisi:
(a) persyaratan minimal kehadiran siswa untuk mengikuti pelajaran dan tugas dari guru;
(b) ketentuan mengenai ulangan, remedial, ujian, kenaikan kelas, dan kelulusan;
(c) ketentuan mengenai hak siswa untuk menggunakan fasilitas belajar, laboratorium, perpustakaan, penggunaan buku pelajaran, buku referensi, dan buku perpustakaan;
(d) ketentuan mengenai layanan konsultasi kepada guru mata pelajaran, wali kelas, dan konselor.
3). Peraturan akademik diputuskan oleh rapat dewan pendidik dan ditetapkan oleh kepala sekolah/madrasah.
6. Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan
a. Sekolah/Madrasah menyusun program pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan.
b. Program pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan:
1). disusun dengan memperhatikan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan;
2). dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah, termasuk pembagian tugas, mengatasi bila terjadi kekurangan tenaga, menentukan sistem penghargaan, dan pengembangan profesi bagi setiap pendidik dan tenaga kependidikan serta menerapkannya secara profesional, adil, dan terbuka.
c. Pengangkatan pendidik dan tenaga kependidikan tambahan dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh penyelenggara sekolah/madrasah.
d. Sekolah/Madrasah perlu mendukung upaya:
1). promosi pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan asas kemanfaatan, kepatutan, dan profesionalisme;
2). pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan yang diidentifikasi secara sistematis sesuai dengan aspirasi individu, kebutuhan kurikulum dan sekolah/madrasah;
3). penempatan tenaga kependidikan disesuaikan dengan kebutuhan baik jumlah maupun kualifikasinya dengan menetapkan prioritas;
4). mutasi tenaga kependidikan dari satu posisi ke posisi lain didasarkan pada analisis jabatan dengan diikuti orientasi tugas oleh pimpinan tertinggi sekolah/madrasah yang dilakukan setelah empat tahun, tetapi bisa diperpanjang berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan untuk tenaga kependidikan tambahan tidak ada mutasi.
e. Sekolah/Madrasah mendayagunakan:
1). kepala sekolah/madrasah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pimpinan pengelolaan sekolah/madrasah;
2). wakil kepala SMP/MTs melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah;
3). wakil kepala SMA/SMK, MA/MAK bidang kurikulum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola bidang kurikulum;
4). wakil kepala SMA/SMK, MA/MAK bidang sarana prasarana melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola sarana prasarana;
5). wakil kepala SMA/SMK, MA/MAK bidang kesiswaan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola peserta didik;
6). wakil kepala SMK bidang hubungan industri melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri;
7). guru melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai agen pembelajaran yang memotivasi, memfasilitasi, mendidik, membimbing, dan melatih peserta didik sehingga menjadi manusia berkualitas dan mampu mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya secara optimum;
8). konselor melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik;
9). pelatih/instruktur melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya memberikan pelatihan teknis kepada peserta didik pada kegiatan pelatihan;
10). tenaga perpustakaan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya melaksanakan pengelolaan sumber belajar di perpustakaan;
11). tenaga laboratorium melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya membantu guru mengelola kegiatan praktikum di laboratorium;
12). teknisi sumber belajar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya mempersiapkan, merawat, memperbaiki sarana dan prasarana pembelajaran;
13). tenaga administrasi melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pelayanan administratif;
14). tenaga kebersihan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan layanan kebersihan lingkungan.
7. Bidang Sarana dan Prasarana
a. Sekolah/Madrasah menetapkan kebijakan program secara tertulis mengenai pengelolaan sarana dan prasarana.
b. Program pengelolaan sarana dan prasarana mengacu pada Standar Sarana dan Prasarana dalam hal:
1). merencanakan, memenuhi dan mendayagunakan sarana dan prasarana pendidikan;
2). mengevaluasi dan melakukan pemeliharaan sarana dan prasarana agar tetap berfungsi mendukung proses pendidikan;
3). melengkapi fasilitas pembelajaran pada setiap tingkat kelas di sekolah/madrasah;
4). menyusun skala prioritas pengembangan fasilitas pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan dan kurikulum masing-masing tingkat;
5). pemeliharaan semua fasilitas fisik dan peralatan dengan memperhatikan kesehatan dan keamanan lingkungan.
c. Seluruh program pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan disosialisasikan kepada pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik.
d. Pengelolaan sarana prasarana sekolah/madrasah:
1). direncanakan secara sistematis agar selaras dengan pertumbuhan kegiatan akademik dengan mengacu Standar Sarana dan Prasarana;
2). dituangkan dalam rencana pokok (master plan) yang meliputi gedung dan laboratorium serta pengembangannya.
e. Pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah perlu:
1). menyediakan petunjuk pelaksanaan operasional peminjaman buku dan bahan pustaka lainnya;
2). merencanakan fasilitas peminjaman buku dan bahan pustaka lainnya sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan pendidik;
3). membuka pelayanan minimal enam jam sehari pada hari kerja;
4). melengkapi fasilitas peminjaman antar perpustakaan, baik internal maupun eksternal;
5). menyediakan pelayanan peminjaman dengan perpustakaan dari sekolah/madrasah lain baik negeri maupun swasta.
f. Pengelolaan laboratorium dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dilengkapi dengan manual yang jelas sehingga tidak terjadi kekeliruan yang dapat menimbulkan kerusakan.
g. Pengelolaan fasilitas fisik untuk kegiatan ekstra-kurikuler disesuaikan dengan perkembangan kegiatan ekstra-kurikuler peserta didik dan mengacu pada Standar Sarana dan Prasarana.
8. Bidang Keuangan dan Pembiayaan
a. Sekolah/Madrasah menyusun pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional yang mengacu pada Standar Pembiayaan.
b. Pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional Sekolah/Madrasah meng
1). sumber pemasukan, pengeluaran dan jumlah dana yang dikelola;
2). penyusunan dan pencairan anggaran, serta penggalangan dana di luar dana investasi dan operasional;
3). kewenangan dan tanggungjawab kepala sekolah/madrasah dalam membelanjakan anggaran pendidikan sesuai dengan peruntukannya;
4). pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran, untuk dilaporkan kepada komite sekolah/madrasah, serta institusi di atasnya.
c. Pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah diputuskan oleh komite sekolah/madrasah dan ditetapkan oleh kepala sekolah/madrasah serta mendapatkan persetujuan dari institusi di atasnya.
d. Pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah untuk menjamin tercapainya pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel.
9. Budaya dan Lingkungan Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah menciptakan suasana, iklim, dan lingkungan pendidikan yang kondusif untuk pembelajaran yang efisien dalam prosedur pelaksanaan.
b. Prosedur pelaksanaan penciptaan suasana, iklim, dan lingkungan pendidikan:
1). berisi prosedur tertulis mengenai informasi kegiatan penting minimum yang akan dilaksanakan;
2). memuat judul, tujuan, lingkup, tanggung jawab dan wewenang, serta penjelasannya;
3). diputuskan oleh kepala sekolah/madrasah dalam rapat dewan pendidik.
(i) Sekolah/Madrasah menetapkan pedoman tata-tertib yang berisi:
4). tata tertib pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik, termasuk dalam hal menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana pendidikan;
5). petunjuk, peringatan, dan larangan dalam berperilaku di Sekolah/Madrasah, serta pemberian sangsi bagi warga yang melanggar tata tertib.
c. Tata tertib sekolah/madrasah ditetapkan oleh kepala sekolah/madrasah melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan masukan komite sekolah/madrasah, dan peserta didik.
d. Sekolah/Madrasah menetapkan kode etik warga sekolah/madrasah yang memuat norma tentang:
1). hubungan sesama warga di dalam lingkungan sekolah/madrasah dan hubungan antara warga sekolah/madrasah dengan masyarakat;
2). sistem yang dapat memberikan penghargaan bagi yang mematuhi dan sangsi bagi yang melanggar.
e. Kode etik sekolah/madrasah ditanamkan kepada seluruh warga sekolah/madrasah untuk menegakkan etika sekolah/madrasah.
f. Sekolah/Madrasah perlu memiliki program yang jelas untuk meningkatkan kesadaran beretika bagi semua warga sekolah/madrasahnya.
g. Kode etik sekolah/madrasah yang mengatur peserta didik memuat norma untuk:
1). menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya;
2). menghormati pendidik dan tenaga kependidikan;
3). mengikuti proses pembelajaran dengan menjunjung tinggi ketentuan pembelajaran dan mematuhi semua peraturan yang berlaku;
4). memelihara kerukunan dan kedamaian untuk mewujudkan harmoni sosial di antara teman;
5). mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi sesama;
6). mencintai lingkungan, bangsa, dan negara; serta
7). menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, ketertiban, keamanan, keindahan, dan kenyamanan sekolah/madrasah.
h. Peserta didik dalam menjaga norma pendidikan perlu mendapat bimbingan dengan keteladanan, pembinaan dengan membangun kemauan, serta pengembangan kreativitas dari pendidik dan tenaga kependidikan.
i. Kode etik sekolah/madrasah yang mengatur guru dan tenaga kependidikan memasukkan larangan bagi guru dan tenaga kependidikan, secara perseorangan maupun kolektif, untuk:
1). menjual buku pelajaran, seragam/bahan pakaian sekolah/madrasah, dan/atau perangkat sekolah lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung kepada peserta didik;
2). memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik;
3). memungut biaya dari peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan peraturan dan undang-undang;
4). melakukan sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang mencederai integritas hasil Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional.
j. Kode etik sekolah/madrasah diputuskan oleh rapat dewan pendidik dan ditetapkan oleh kepala sekolah/madrasah.
10. Peranserta Masyarakat dan Kemitraan Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah melibatkan warga dan masyarakat pendukung sekolah/madrasah dalam mengelola pendidikan.
b. Warga sekolah/madrasah dilibatkan dalam pengelolaan akademik.
c. Masyarakat pendukung sekolah/madrasah dilibatkan dalam pengelolaan non-akademik.
d. Keterlibatan peranserta warga sekolah/madrasah dan masyarakat dalam pengelolaan dibatasi pada kegiatan tertentu yang ditetapkan.
e. Setiap sekolah/madrasah menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang relevan, berkaitan dengan input, proses, output, dan pemanfaatan lulusan.
f. Kemitraan sekolah/madrasah dilakukan dengan lembaga pemerintah atau non-pemerintah.
g. Kemitraan SD/MI/SDLB atau yang setara dilakukan minimal dengan SMP/MTs/SMPLB atau yang setara, serta dengan TK/RA/BA atau yang setara di lingkungannya.
h. Kemitraan SMP/MTs/SMPLB, atau yang setara dilakukan minimal dengan SMA/SMK/SMALB, MA/MAK, SD/MI atau yang setara, serta dunia usaha dan dunia industri.
i. Kemitraan SMA/SMK, MA/MAK, atau yang setara dilakukan minimal dengan perguruan tinggi, SMP/MTs, atau yang setara, serta dunia usaha dan dunia industri di lingkungannya.
j. Sistem kemitraan sekolah/madrasah ditetapkan dengan perjanjian secara tertulis.
C. PENGAWASAN DAN EVALUASI
1. Program Pengawasan
a. Sekolah/Madrasah menyusun program pengawasan secara obyektif, bertanggung jawab dan berkelanjutan.
b. Penyusunan program pengawasan di sekolah/madrasah didasarkan pada Standar Nasional Pendidikan.
c. Program pengawasan disosialisasikan ke seluruh pendidik dan tenaga kependidikan.
d. Pengawasan pengelolaan sekolah/madrasah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan.
e. Pemantauan pengelolaan sekolah/madrasah dilakukan oleh komite sekolah/madrasah atau bentuk lain dari lembaga perwakilan pihak-pihak yang berkepentingan secara teratur dan berkelanjutan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan.
f. Supervisi pengelolaan akademik dilakukan secara teratur dan berkelanjutanoleh kepala sekolah/madrasah dan pengawas sekolah/madrasah.
g. Guru melaporkan hasil evaluasi dan penilaian sekurang-kurangnya setiap akhir semester yang ditujukan kepada kepala sekolah/madrasah dan orang tua/wali peserta didik.
h. Tenaga kependidikan melaporkan pelaksanaan teknis dari tugas masing-masing sekurang-kurangnya setiap akhir semester yang ditujukan kepada kepala sekolah/madrasah. kepala sekolah/madrasah, secara terus menerus melakukan pengawasan pelaksanaan tugas tenaga kependidikan.
i. Kepala sekolah/madrasah melaporkan hasil evaluasi kepada komite sekolah/madrasah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan sekurangkurangnya setiap akhir semester.
j. Pengawas sekolah melaporkan hasil pengawasan di sekolah kepada bupati/walikota melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dan sekolah yang bersangkutan, setelah dikonfirmasikan pada sekolah terkait.
k. Pengawas madrasah melaporkan hasil pengawasan di madrasah kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan pada madrasah yang bersangkutan, setelah dikonfirmasikan pada madrasah terkait.
l. Setiap pihak yang menerima laporan hasil pengawasan menindaklanjuti laporan hasil pengawasan tersebut dalam rangka meningkatkan mutu sekolah/madrasah, termasuk memberikan sanksi atas penyimpangan yang ditemukan.
m. Sekolah/Madrasah mendokumentasikan dan menggunakan hasil pemantauan, supervisi, evaluasi, dan pelaporan serta catatan tindak lanjut untuk memperbaiki kinerja sekolah/madrasah, dalam pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan secara keseluruhan.
2. Evaluasi Diri
a. Sekolah/Madrasah melakukan evaluasi diri terhadap kinerja sekolah/madrasah.
b. Sekolah/Madrasah menetapkan prioritas indikator untuk mengukur, menilai kinerja, dan melakukan perbaikan dalam rangka pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan.
c. Sekolah/Madrasah melaksanakan:
1). evaluasi proses pembelajaran secara periodik, sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun, pada akhir semester akademik;
2). evaluasi program kerja tahunan secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, pada akhir tahun anggaran sekolah/madrasah.
d. Evaluasi diri sekolah/madrasah dilakukan secara periodik berdasar pada data dan informasi yang sahih.
3. Evaluasi dan Pengembangan KTSP
Proses evaluasi dan pengembangan KTSP dilaksanakan secara:
a. komprehensif dan fleksibel dalam mengadaptasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir;
b. berkala untuk merespon perubahan kebutuhan peserta didik dan masyarakat, serta perubahan sistem pendidikan, maupun perubahan sosial;
c. integratif dan monolitik sejalan dengan perubahan tingkat mata pelajaran;
d. menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak meliputi: dewan pendidik, komite sekolah/madrasah, pemakai lulusan, dan alumni.
4. Evaluasi Pendayagunaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
a. Evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan direncanakan secara komprehensif pada setiap akhir semester dengan mengacu pada Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
b. Evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan meliputi kesesuaian penugasan dengan keahlian, keseimbangan beban kerja, dan kinerja pendidik dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan tugas.
c. Evaluasi kinerja pendidik harus memperhatikan pencapaian prestasi dan perubahan-perubahan peserta didik.
5. Akreditasi Sekolah/Madrasah
a. Sekolah/Madrasah menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk mengikuti akreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Sekolah/Madrasah meningkatkan status akreditasi, dengan menggunakan lembaga akreditasi eksternal yang memiliki legitimasi.
c. Sekolah/Madrasah harus terus meningkatkan kualitas kelembagaannya secara holistik dengan menindaklanjuti saran-saran hasil akreditasi.
D. KEPEMIMPINAN SEKOLAH/MADRASAH
1. Setiap sekolah/madrasah dipimpin oleh seorang kepala sekolah/madrasah.
2. Kriteria untuk menjadi kepala dan wakil kepala sekolah/madrasah berdasarkan ketentuan dalam standar pendidik dan tenaga kependidikan.
3. Kepala SMP/MTs/SMPLB dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala sekolah/madrasah.
4. Kepala SMA/MA dibantu minimal tiga wakil kepala sekolah/madrasah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, dan kesiswaan. Sedangkan kepala SMK dibantu empat wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, kesiswaan, dan hubungan dunia usaha dan dunia industri. Dalam hal tertentu atau sekolah/madrasah yang masih dalam taraf pengembangan, kepala sekolah/madrasah dapat menugaskan guru untuk melaksanakan fungsi wakil kepala sekolah/madrasah.
5. Wakil kepala sekolah/madrasah dipilih oleh dewan pendidik, dan proses pengangkatan serta keputusannya, dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/madrasah kepada institusi di atasnya. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, institusi dimaksud adalah penyelenggara sekolah/madrasah.
6. Kepala dan wakil kepala sekolah/madrasah memiliki kemampuan memimpin yaitu seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diwujudkannya dalam melaksanakan tugas keprofesionalan sesuai dengan Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan.
7. Kepala sekolah/madrasah:
a. menjabarkan visi ke dalam misi target mutu;
b. merumuskan tujuan dan target mutu yang akan dicapai;
c. menganalisis tantangan, peluang, kekuatan, dan kelemahan sekolah/madrasah;
d. membuat rencana kerja strategis dan rencana kerja tahunan untuk pelaksanaan peningkatan mutu;
e. bertanggung jawab dalam membuat keputusan anggaran sekolah/madrasah;
f. melibatkan guru, komite sekolah dalam pengambilan keputusan penting sekolah/madrasah. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, pengambilan keputusan tersebut harus melibatkan penyelenggara sekolah/madrasah;
g. berkomunikasi untuk menciptakan dukungan intensif dari orang tua peserta didik dan masyarakat;
h. menjaga dan meningkatkan motivasi kerja pendidik dan tenaga kependidikan dengan menggunakan sistem pemberian penghargaan atas prestasi dan sangsi atas pelanggaran peraturan dan kode etik;
i. menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif bagi peserta didik;
j. bertanggung jawab atas perencanaan partisipatif mengenai pelaksanaan kurikulum;
k. melaksanakan dan merumuskan program supervisi, serta memanfaatkan hasil supervisi untuk meningkatkan kinerja sekolah/madrasah;
l. meningkatkan mutu pendidikan;
m. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya;
n. memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah/madrasah;
o. membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah/madrasah dan program pembelajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan tenaga kependidikan;
p. menjamin manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah/madrasah untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif;
q. menjalin kerja sama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat, dan komite sekolah/madrasah menanggapi kepentingan dan kebutuhankomunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat;
r. memberi contoh/teladan/tindakan yang bertanggung jawab.
8. Kepala sekolah/madrasah dapat mendelegasikan sebagian tugas dan kewenangan kepada wakil kepala sekolah/madrasah sesuai dengan bidangnya.
E. SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
1. Sekolah/Madrasah:
a. mengelola sistem informasi manajemen yang memadai untuk mendukung administrasi pendidikan yang efektif, efisien dan akuntabel;
b. menyediakan fasilitas informasi yang efesien, efektif dan mudah diakses;
c. menugaskan seorang guru atau tenaga kependidikan untuk melayani permintaan informasi maupun pemberian informasi atau pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan pengelolaan sekolah/madrasah baik secara lisan maupun tertulis dan semuanya direkam dan didokumentasikan;
d. melaporkan data informasi sekolah/madrasah yang telah terdokumentasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
2. Komunikasi antar warga sekolah/madrasah di lingkungan sekolah/madrasah dilaksanakan secara efisien dan efektif.
F. PENILAIAN KHUSUS
Keberadaan sekolah/madrasah yang pengelolaannya tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan dapat memperoleh pengakuan Pemerintah atas dasar rekomendasi BSNP.
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
BAMBANG SUDIBYO

Standar Penilaian Pendidikan

PENILAIAN PENDIDIKAN
• Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan
dan pengolahan informasi untuk menentukan
pencapaian hasil belajar peserta didik;
• Penilaian hasil belajar peserta didik dilaksanakan
berdasarkan standar penilaian pendidikan yang
berlaku secara nasional;
• Standar penilaian pendidikan adalah standar
nasional pendidikan yang berkaitan dengan
mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil
belajar peserta didik;
• Penilaian dapat berupa ulangan dan atau ujian.

Prinsip Penilaian
1. Sahih
2. Objektif
3. Adil
4. Terpadu
5. Terbuka
6. Menyeluruh dan berkesinambungan
7. Sistematis
8. Beracuan Kriteria
9. Akuntabel

ULANGAN DAN UJIAN
• Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik
secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran,
untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan
pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar
peserta didik;
• Ulangan terdiri atas Ulangan Harian, Ulangan
Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester, dan
Ulangan Kenaikan Kelas;
• Ujian meliputi Ujian Nasional dan Ujian Sekolah/
Madrasah.
ULANGAN
• Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah
menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih;
• Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik
setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran.
Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan
seluruh KD pada periode tersebut;
• Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di
akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang
merepresentasikan semua KD pada semester tersebut;
• Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan
pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan
meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan KD pada
semester tersebut.

UJIAN NASIONAL (UN)
• Proses pengukuran pencapaian kompetensi
peserta didik, untuk menilai pencapaian
SNP yang diselenggarakan oleh
Pemerintah;
• Merupakan salah satu persyaratan
kelulusan dari satuan pendidikan;
• Mata pelajaran yang diujikan adalah mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata
pelajaran Iptek.

UJIAN SEKOLAH/MADRASAH
�� Proses pengukuran pencapaian kompetensi
peserta didik oleh satuan pendidikan, sebagai
pengakuan atas prestasi belajar;
�� Merupakan salah satu persyaratan kelulusan
dari satuan pendidikan;
�� Mata Pelajaran yang diujikan mencakup:
Kelompok mata pelajaran Iptek yang tidak
diujikan dalam UN, dan aspek kognitif dan
atau psikomotor kelompok mata pelajaran
Agama dan Akhlak mulia serta kelompok mata
pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian.

Penilaian hasil belajar pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah
dilakukan oleh:
�� Pendidik
�� Satuan Pendidikan
�� Pemerintah

PENILAIAN OLEH PENDIDIK
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara
berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan
kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan
efektivitas kegiatan pembelajaran.
Kegiatan penilaian meliputi:
1. Penginformasian silabus mata pelajaran yang di dalamnya
memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal
semester;
2. Pengembangan indikator pencapaian KD dan m pemilihan
teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus
mata pelajaran;
3. Pengembangan instrumen dan pedoman penilaian sesuai
dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih;
4. Pelaksanaan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk
lain yang diperlukan;

5. Pengolahan hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil
belajar dan kesulitan belajar peserta didik;
6. Pengembalian hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik
disertai balikan/komentar yang mendidik;
7. Pemanfaatan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran;
8. Pelaporan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir
semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk
satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi
singkat sebagai cerminan kompetensi utuh;
9. Pelaporan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan
Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada guru
Pendidikan Kewarganegaraan digunakan sebagai informasi
untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian
peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang
baik.

PENILAIAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai
pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran.
Kegiatan penilaian meliputi:
1. Penentuan KKM setiap mata pelajaran dengan harus
memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik mata
pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapat dewan
pendidik;
2. Pengkoordinasian ulangan yang terdiri atas ulangan tengah
semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas;
3. Penentuan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang
menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik, atau
penentuan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan
yang menggunakan sistem kredit semester melalui rapat dewan
pendidik;
4. Penentuan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan
kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan melalui
rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian
oleh pendidik;

6. Penentuan nilai akhir kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia dan kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan
mempertimbangkan hasil penilaian oleh
pendidik dan nilai hasil ujian sekolah/madrasah;
7. Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan
penentuan kelulusan peserta didik dari Ujian
Sekolah/Madrasah sesuai dengan POS Ujian
Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan
penyelenggara ujian sesuai dengan POS Ujian
Sekolah/Madrasah ;

8. Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan
melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria:
a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran,
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir
untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata
pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga, dan kesehatan,
c. lulus Ujian Sekolah/Madrasah, dan
d. lulus Ujian Nasional.

PENILAIAN OLEH PEMERINTAH
1. Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah
dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional
(UN);
2. UN didukung oleh sistem yang menjamin
mutu dan kerahasiaan soal serta
pelaksanaan yang aman, jujur, dan adil;
3. Dalam rangka penggunaan hasil UN
untuk pemetaan mutu program/atau
satuan pendidikan, Pemerintah
menganalisis dan membuat peta daya
serap hasil UN.

PEMANFAATAN HASIL UN
Hasil UN dimanfaatkan sebagai salah satu:
�� pertimbangan dalam pembinaan dan
pemberian bantuan kepada satuan pendidikan
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan,
�� pertimbangan dalam menentukan kelulusan
peserta didik pada seleksi masuk jenjang
pendidikan berikutnya,
�� penentu kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan yang kriteria kelulusannya
ditetapkan setiap tahun oleh Mendiknas
berdasarkan rekomendasi BSNP.

PROSEDUR PENILAIAN
• Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat
penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari
rencana peiaksanaan pembelajaran (RPP);
• Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan
kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan
pendidikan;
• Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata
pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata
pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan
melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh
pendidik;
• Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan
dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui
rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oieh pendidik
dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah;

• Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan
langkah-langkah:
a. menyusun kisi-kisi ujian,
b. mengembangkan instrumen,
c. melaksanakan ujian,
d. mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik
dari ujian sekolah/madrasah, dan
e. melaporkan serta memanfaatkan hasil penilaian;
• Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif
dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME dilakukan oleh guru
agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik
mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan;

• Penilaian kepribadian adalah bagian dari penilaian
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan
dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata
pelajaran lain dan sumber lain yang relevan;
• Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti
penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan;
• Keikutsertaan peserta didik dalam kegiatan
pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan
yang ditanda-tangani oleh pembina kegiatan dan kepala
sekolah/madrasah.

TEKNIK DAN
INSTRUMEN PENILAIAN
• Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan
berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi,
penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk
lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan
tingkat perkembangan peserta didik;
• Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik
atau tes kinerja;
• Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama
pembelajaran berlangsung dan atau di luar kegiatan
pembelajaran;
• Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok
dapat berbentuk tugas rumah dan atau proyek;
• Instrumen penilaian harus memenuhi persyaratan:
substansi, konstruksi, dan bahasa.

LAPORAN HASIL PENILAIAN
• Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik
sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta
didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti
pembelajaran remedi;
• Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan
disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian
kompetensi mata pelajaran disertai dengan deskripsi
kemajuan belajar;
• Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk
dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari
satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam
seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya;
• Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan untuk pemetaan mutu program dan
atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan.


http://pendidikansains.blogspot.com/2009/02/standar-penilaian-permen-no-20-th-2007.html

Standar Proses Pendidikan

Untuk kesekian kalinya kita ribut lagi dengan Ujian Nasional. Saya ingin memberi catatan kecil saja pada polemik yang satu ini. Penerapan ujian nasional yang batas nilai kelulusannya setiap tahun meningkat boleh jadi merupakan sesuatu yang baik. Sulit dibayangkan jika seseorang lulus dengan nilai 5 (awalnya ditetapkan 3). Kalau tidak salah waktu kecil dulu 5 ke bawah sudah ditulis dengan tinta merah. Walaupun demikian, ada yang perlu dikomentari dari pelaksanaan UN ini.
Orang boleh bicara output untuk melihat keberhasilan suatu proses. Tetapi output bukan merupakan ukuran mutlak. Bahkan menurut hemat saya kuncinya bukan pada output, tetapi pada proses. Kalau berbicara proses pengendalian dalam manajemen, pendekatan modern mengatakan pengendalian bukan dilakukan pada hasil. Kalaupun kita mengukur hasil, ukuran tersebut hanya digunakan sebagai indikator baik buruknya proses yang terjadi. Yang lebih penting lagi, proses pengendalian seharusnya dilakukan untuk memberikan umpan balik kepada sistem agar dapat melakukan koreksi jika terjadi penyimpangan pada proses. Dengan demikian, tidak tepat jika langkah pengendalian hanya dilakukan pada akhir proses dimana tidak dimungkinkan lagi untuk memperbaiki sistem. Dalam kasus UN hal ini akan menjadi lebih kritis karena hasil yang diukur akan menyebabkan beban proses pendidikan menjadi bertambah.
Berangkat dari pola pikir yang memperhatikan proses maka kebijakan UN memang harus didahului kejelasan terhadap proses pendidikan yang akan diuji lewat UN. Pada saat mengembangkan suatu sistem, setelah tujuan ditetapkan kita perlu menentukan proses apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak pada tempatnya jika dalam sebuah organisasi atau perusahaan, ada tujuan tanpa dibekali proses untuk mencapainya. Pada prakteknya memang hal ini yang lebih banyak terjadi. Bawahan atau pelaksana diberikan beban yang cukup berat (apalagi tanpa otoritas) untuk memikirkan sendiri bagaimana cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Boleh jadi karena atasannya sendiri tidak mengetahui cara mencapainya, mungkin karena tidak mau tahu, atau mental yang selalu ingin terima jadi. Hal semacam ini sangat berbahaya. Selain karena akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan dengan efektif, juga akan menumbuhsuburkan mental menghalalkan segala cara. Padahal mental-mental seperti ini yang harus dikikis oleh proses pendidikan.
Secara ideal, target nilai UN harus disertai dengan pengembangan proses bisnis yang dipersyaratkan. Sejauh pengetahuan saya, proses bisnis pendidikan ini yang belum kita miliki, baik di level SD, SMP bahkan sampai perguruan tinggi. Mungkin itulah sebabnya mengapa pendidikan di negeri ini memang tidak pernah dapat disejajarkan dengan pendidikan di negara lain. Bukan rahasia lagi bahwa rumusan tujuan pendidikan di negara kita sangat baik. Tetapi lihatlah hasilnya, banyak kecurangan dilakukan (bahkan oleh guru!!!), mental siswa yang lebih suka berkelahi daripada berkreasi, dan banyak lagi hal-hal menyimpang lainnya.
Sebagai kesimpulan akhir catatan ini, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengembangkan standar proses bisnis pendidikan. Teknis pelaksanaan dapat diatur kemudian. Saya yakin pemerintah tidak akan berdiri sendiri, banyak pihak yang akan membantu.
www.google.com

Standar Sarana dan Prasarana pendidikan

Memahami potensi mahasiswa negeri ini, muncul rasa bangga. Masih banyak yang gigih belajar, arif menyikapi perbedaan dan peduli terhadap berbagai krisis yang terjadi. Cukup tangguh menciptakan pressure sehingga menjadi ide bersama dan tidak bisa dianggap remeh segenap elemen bangsa ini. Namun demikian, melirik tantangan dan persaingan global di masa depan, tampaknya perlu ditata ulang segenap aktivitas belajar mahasiswa, baik di kampus maupun di luar kampus. WASPADA Online

Oleh Syawal Gultom

Memahami potensi mahasiswa negeri ini, muncul rasa bangga. Masih banyak yang gigih belajar, arif menyikapi perbedaan dan peduli terhadap berbagai krisis yang terjadi. Cukup tangguh menciptakan pressure sehingga menjadi ide bersama dan tidak bisa dianggap remeh segenap elemen bangsa ini. Namun demikian, melirik tantangan dan persaingan global di masa depan, tampaknya perlu ditata ulang segenap aktivitas belajar mahasiswa, baik di kampus maupun di luar kampus.

Sebaiknya aktivitas belajar mahasiswa di kampus harus gayut dengan persoalan riil masyarakat. Aktivitas utama di kampus adalah belajar dalam arti yang luas. Hasil penelitian yang dilakukan Tim Ditjen Dikti pada 12 PTN dan 5 PTS beberapa tahun lalu, menunjukkan, 75 persen mahasiswa cendrung tidak mampu belajar mandiri (sangat tergantung pada dosennya). Mungkin keadaan sekarang belum jauh bergeser.

Idealnya, menurut Kepmendiknas 232/2000, aktivitas belajar mahasiswa meliputi Tatap Muka (Teori), Kegiatan Praktikum, Kegiatan Lapangan, Tugas Terstruktur, dan Tugas Mandiri. Proporsi Teori, Praktek dan Lapangan berturut-turut : 1 : 2 : 4. Artinya 1 SKS setara dengan 1 jam teori, atau 2 jam praktek, atau 4 jam lapangan, masing-masing diikuti dengan kegiatan 1-2 jam tugas terstruktur dan 1-2 jam tugas mandiri. Atas formula ini, jika beban studi 20 SKS, dibutuhkan waktu sekitar 90 jam perminggu atau rata-rata 15 jam perhari untuk melakukan semua aktivitas tersebut (1 minggu = enam hari efektif). Jika asumsi 1 hari 24 jam, maka hanya ada waktu istirahat 9 jam perhari dan untuk semua aktivitas lainnya.

Secara matematis dapat dikatakan, jika jumlah jam belajar mahasiswa di bawah 15 jam per hari, dapat diprediksi, yang bersangkutan cendrung mengalami kegagalan. Ini kalkulasi matematis, jadi tidak berbasis etnik, suku dan atribut lainnya. Sejauh ini belum ada penelitian yang akurat tentang rata-rata waktu belajar yang digunakan mahasiswa di Indonesia, namun diduga relatif lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN.
"A Week in the Life of a Hong Kong Student" Project, mendeskripsi bagaimana mahasiswa menggunakan waktu dalam 1 minggu (168 jam). Belajar di kelas formal 15,7 jam; belajar mandiri 21,8 jam; berdiskusi dan bersosialisasi 33,2 jam; bekerja paruh waktu 3,8 jam; bepergian dan makan 27,3 jam; tidur 49 jam (7 jam per hari); lain-lain 17,2 jam. Tampak, waktu yang dibutuhkan mahasiswa untuk aktivitas belajar tidak kurang dari 11 jam perhari. Tentu disamping durasi waktu yang cukup besar, kualitas belajar mahasiswa di Hongkong juga berbeda dengan mahasiswa di Indonesia sebab terbukti, lulusan mereka mampu mendorong negaranya menjadi negara maju.

Di Amerika, hasil studi di beberapa universitas oleh National Survey of Student Engagement menunjukkan, aktivitas belajar mahasiswa sangat bervariasi. Setiap aktivitas dikerjakan sedikitnya 61 % mahasiswa. Dalam laporan survey ditulis bahwa (1) 87 % melakukan penulisan paper berdasarkan berbagai informasi terbaru (2) 79 % mahasiswa berkomunikasi dengan dosen berbasis e-mail (3) 75 % aktif bertanya di kelas dan berkontribusi pada setiap diskusi di kelas, (3) 66 % mahasiswa aktif mensosialisasikan hasil bacaan kepada sesama mahasiswa kelas sendiri atau kelas lain atau keluarga, (4) 67 % mahasiswa memperoleh dorongan dan umpan balik dari sivitas akademika atas prestasi akademik secara lisan maupun tertulis, (5) 61 % mahasiswa aktif terlibat dalam diskusi kelompok yang berbeda ras, suku, aliran politik, dan gender. Bandingkan dengan sebagian mahasiswa kita. Tugas kelompok cenderung hanya dikerjakan sendirian, sementara tugas mandiri dikerjakan secara berkelompok.

Apa Akar Masalahnya ?

Pola penggunaan waktu yang kurang efisien diduga merupakan akar masalahnya. Masalah ini tidak berdiri sendiri. Persoalan negeri ini secara makro juga merupakan faktor yang menentukan, meski dalam ulasan kali ini tidak menjadi fokus kajian.

Ada permasalahan yang segera perlu diatasi. Pertama masalah yang cendrung melekat pada diri mahasiswa yang terkait dengan rendahnya motivasi, konsep diri, etos belajar, ekspektasi, dan rendahnya daya juang mahasiswa. Sampai saat ini belum ada upaya yang terstruktur dan sistematis yang dilakukan dosen untuk mengatasinya. Ketulusan, kesabaran dan konsistensi sikap serta perilaku dosen untuk mengintegrasikannya dalam mata kuliah masih perlu dipertanyakan. Portofolio mahasiswa yang secara akurat dapat digunakan untuk memonitor kemajuan belajar mahasiswa sampai saat ini belum dikembangkan. Kedua kreativitas dosen untuk "memaksa" mahasiswa belajar mandiri. Standar critical book report, problem solving, cooperative learning, review of research findings, case study tidak jelas dipahami mahasiswa. Akibatnya mahasiswa mengerjakannya "apa adanya". Masalah lain, masih jarang dosen yang mereview tugas-tugas dalam bentuk komentar yang memandu perbaikan. Ketiga desain proses pendidikan yang terjadi kurang sesuai dengan harapan dan keinginan mahasiswa. Kemonotonan pendekatan, metoda dan teknik pembelajaran bisa saja mematikan hormon adrenalin belajar mahasiswa. Keempat pola, sistem, mekanisme dan prosedur evaluasi yang tidak konsisten pada standar kompetensi dapat memudarkan semangat belajar mahasiswa, sebab tanpa kerja keras juga mahasiswa tetap memperoleh nilai yang tinggi. Kondisi ini akan semakin suram bila sistem evaluasi yang diterapkan dosen akrab dengan ketidakobjektifan. Kelima ketidakpastian lapangan kerja juga dapat menurunkan semangat belajar mahasiswa. Keseluruhan permasalahan dapat diatasi secara perlahan, jika kemampuan mahasiswa untuk mengelola waktu dapat ditingkatkan secara gradual.

Manajemen Waktu oleh Mahasiswa.

Kathleen Riepe mengatakan, time is a non renewable resource, once it is gone, it is gone. Gerakan membangkitkan kesadaran mahasiswa akan manajemen waktu harus diintegrasikan dalam seluruh aktivitas pendidikan. Perlu ada kesadaran, yesterday is history, tomorrow is a mistery, but today is a gift that's why we call it the present. "The present" dalam hal ini merupakan hadiah dari Yang Maha Kuasa, oleh sebab itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Andaikan satu hari yang terdiri dari 86.400 detik, identik dengan sejumlah uang yang harus dihabiskan dalam satu hari dan tidak dapat ditabung untuk hari berikutnya, maka kita akan mengalami kerugian besar andaikan kita tidak dapat membelanjakannya dengan baik. Sama halnya dengan waktu, tentu kita tidak akan ikhlas jika terbuang sia-sia.

Begitu pentingnya manajemen waktu meski sampai saat ini belum dimasukkan dalam kurikulum sekolah di Indonesia. Mencermati persoalan rendahnya kemampuan mahasiswa untuk menggunakan waktu, tampaknya wajar dimasukkan dalam kurikulum universitas. Pada umumnya sekolah di negara maju memiliki prinsip-prinsip penggunaan waktu yang sangat ketat. Meniru sebuah kebaikan tentulah berbuah kebaikan juga. Untuk itu sudah saatnya disusun sebuah pola pengunaan waktu bagi mahasiswa dan dipublikasi secara terbuka di seluruh sudut kampus.

Secara umum prinsip pembagian waktu yang relevan bagi insan kampus adalah (1) mengidentifikasi waktu terbaik untuk belajar. Are you a "morning person", or a "night person"?, (2) pelajari hal-hal yang berat dikala stamina masih segar, (3) gunakan tipe belajar distributed learning and practice sehingga terhindar dari kelelahan dan pemborosan waktu, (4) pastikan lingkungan sekitar kondusif untuk belajar, (5) alokasikan waktu untuk memanjakan indera, (6) tidur dan makanlah sesuai kebutuhan dengan dosis dan jadwal yang tepat (mengurangi waktu tidur yang mengakibatkan konsentrasi belajar menurun bukanlah pilihan yang bijak), (7) kombinasikan aktivitas lain dengan belajar, misalnya membaca buku di angkutan umum, mendengarkan CD pembelajaran saat antri di bank, dan lain-lain.

Membangun aktivitas belajar mahasiswa dimulai dengan menghimpun aspirasi dan pendapat mahasiswa tentang pembelajaran yang menyenangkan. Dalam pikiran mahasiswa, seorang dosen adalah (1) orang yang ahli dan sangat menguasai ilmunya, (2) memiliki pengalaman yang cukup dan sangat menghayati ilmunya, (3) mampu mendeskripsi dan merasakan segala kesulitan dan keluh kesah mahasiswa, (4) mampu menolong mahasiswa memecahkan berbagai masalah, (5) terampil bertanya, (6) mengajak berpikir, dan (7) memiliki empati dan ketulusan. Kepemilikan dosen akan keinginan dan harapan mahasiswa secara alami akan dapat mendorong peningkatan aktivitas belajar mahasiswa.

Standar Pembiayaan Pendidikan Mahasiswa

Masalah Pendidikan di Indonesia*
sim on January 5th, 2009
*oleh : Rini Setyowati, Haniah Nurlali, Diah Ayu Wulandari FKIP Geografi UNS
Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita. Sebagai siswa dan sekaligus sebagai calon pendidik, kami merasakan ketimpangan-ketimpangan pendidikan, seperti :
1. Kurikulum
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Gembar-gembor kurikulum baru, katanya lebih baiklah, lebih tepat sasaran. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya.
Pemerintah sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam prakteknya Guru di Indonesia yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih perlu pembenahan. Hal ini terjadi karena pemerintah menginkan hasil yang baik tapi lupa dengan elemen-elemen dasar dalam pendidikan. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh. Menurut slogan jawa, guru itu digugu dan ditiru, tapi fakta yang ada, banyak masyarakat yang memandang rendah terhadap profesi guru, padahal tanpa guru kita tidak akan bisa menjadi seperti sekarang ini.
2. Biaya
Akhir-akhir ini biaya pendidikan semakin mahal, seperti mengalami kenaikan BBM. Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan.
Sekarang ini memang digalakan program wajib belajar 9 tahun dengan bantuan Bos. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah yang terpencil nan jauh disana?? Apa mereka sudah mengenyam pendidikan?? Padahal mereka sebagai WNI berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Akhir-akhir ini pemerintah dalam system pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu. Hal ini saya rasa sangat konyol, bukankah kebijakan ini sama saja dengan mengotak-kotakan pendidikan kita, mau dikemanakan pendidikan kita bila kita terus diam dan pasrah menerima keputusan Pemerintah?? Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.
3. Tujuan pendidikan
Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Bagaiamana tidak? Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat). Bukankah ini memalukan?? Berarti kalau kita punya uang maka kita tidak usah sekolah tapi sama dengan yang sekolah karena memiliki ijasah. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan dapat mengambil suatu keputusan.
4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang
DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Selama tiga tahun itupula, UU yang berisi 14 bab dan 69 pasal banyak mengalami perubahan. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan.
|Rabu, 17 Desember 2008, suara mahasiswa Universitas Indonesia yang memprotes pengesahan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sudah semakin tipis. Namun, teriakan tetap mereka lantangkan di lobi Gedung Nusantara II DPR, Rabu (17/12) sore.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan, mereka sudah mengawal pembahasan RUU ini selama 3 tahun. Bahkan, sebuah konsep tandingan sudah disiapkan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU BHP.
Hal yang dikhawatirkan, undang-undang baru ini akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Anggapan mahasiswa ini, dikatakan Ketua Pansus RUU BHP Irwan Prayitno, salah besar. Pendanaan. 20 persen operasional dibiayai pemerintah. Untuk investasi dan bangunan seluruhnya dibiayai pemerintah.
UU BHP juga menetapkan perguruan tinggi negeri atau PTS wajib memberikan beasiswa sebesar 20 persen dari seluruh jumlah mahasiswa di lembaganya. Namun, jika ternyata Perguruan Tinggi yang terkait tidak mempunyai dana yang mencukupi, untuk memberikan beasiswa, akhirnya dana tersebut akan dibebankan kepada mahasiswa lagi. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang. UU BHP sendiri saat ini sedang dalam proses mencari input. Jadi, untuk memperkuat status hukum PT BHMN, ia akan diatur dalam UU BHP.
5. Kontoversi diselenggaraknnya UN
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
6. Kesrusakan fasilitas sekolah
Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak mencapai 50 persen.
Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.
Sumber:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/16114897/mahasiswa.khawatir.uu.bhp.bikin.pendidikan.semakin.mahal.
http://www.geramtolakbhp.blogspot.com/Potret Dunia Pendidikan Indonesia
http://mybluegreen.net/serbaneka/potret-dunia-pendidikan-indonesia/
http://beritasore.com/2007/07/03/uu-bhp-tidak-mengarah-privatisasi-perguruan-tinggi/

Profesi Pendidik & Tenaga Kependidikan

Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting bagi kehidupan manusia, pendidikan dapat mendorong peningkatan kualitas manusia dalam bentuk meningkatnya kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Masalah yang dihadapi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan sangat kompleks, banyak faktor yang harus dipertimbangkan karena pengaruhnya pada kehidupan manusia tidak dapat diabaikan, yang jelas disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia suatu bangsa. Bagi suatu bangsa pendidikan merupakan hal yang sangat penting, dengan pendidikan manusia menjadi lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan, dengan pendidikan manusia juga akan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Oleh karena itu membangun pendidikan menjadi suatu keharusan, baik dilihat dari perspektif internal (kehidupan intern bangsa) maupun dalam perspektif eksternal (kaitannya dengan kehidupan bangsa-bangsa lain)
Menurut Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari pengertian tersebut dapatlah dimengerti bahwa pendidikan merupakan suatu usaha atau aktivitas untuk membentuk manusia-manusia yang cerdas dalam berbagai aspeknya baik intelektual, sosial, emosional maupun spiritual, trampil serta berkepribadian dan dapat berprilaku dengan dihiasi akhlak mulia.

Ini berarti bahwa dengan pendidikan diharapkan dapat terwujud suatu kualitas manusia yang baik dalam seluruh dimensinya, baik dimensi intelektual, emosional, maupun spiritual yang nantinya mampu mengisi kehidupannya secara produktif bagi kepentingan dirinya dan masyarakat.

Pengertian tersebut menggambarkan bahwa pendidikan merupakan pengkondisian situasi pembelajaran bagi peserta didik guna memungkinkan mereka mempunyai kompetensi-kompetensi yang dapat bermanfaat bagi kehidupan dirinya sendiri maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pasal 3).

Salah satu faktor yang amat menentukan dalam upaya meningkatkan kualitas SDM melalui Pendidikan adalah tenaga Pendidik (Guru/Dosen), melalui mereka pendidikan diimplementasikan dalam tataran mikro, ini berarti bahwa bagaimana kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran akan terletak pada bagaimana pendidik melaksanakan tugasnya secara profesional serta dilandasi oleh nilai-nilai dasar kehidupan yang tidak sekedar nilai materil namun juga nilai-nilai transenden ysng dapat mengilhami pada proses pendidikan ke arah suatu kondisi ideal dan bermakna bagi kebahagiaan hidup peserta didik, pendidik serta masyarakat secara keseluruhan.

Dengan demikian, nampak bahwa Pendidik diharapkan mempunyai pengaruh yang signifikan pada pembentukan sumberdaya manusia (human capital) dalam aspek kognitif, afektif maupun keterampilan, baik dalam aspek fisik, mental maupun spiritual. Hal ini jelas menuntut kualitas penyelenggaraan pendidikan yang baik serta pendidik yang profesional, agar kualitas hasil pendidikan dapat benar-benar berperan optimal dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu pendidik dituntut untuk selalu memperbaiki, mengembangkan diri dalam membangun dunia pendidikan.

Dengan mengingat berat dan kompleksnya membangun pendidikan, adalah sangat penting untuk melakukan upaya-upaya guna mendorong dan memberdayakan tenaga pendidik untuk makin profesional serta mendorong masyarakat berpartisipasi aktif dalam memberikan ruang bagi pendidik untuk mengaktualisasikan dirinya dalam rangka membangun pendidikan, hal ini tidak lain dimaksudkan untuk menjadikan upaya membangun pendidikan kokoh, serta mampu untuk terus mensrus melakukan perbaikan kearah yang lebih berkualitas.

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM PENGEMBANGAN PROFESI PENDIDIK
Profesi pendidik merupakan profesi yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, hal ini tidak lain karena posisi pendidikan yang sangat penting dalam konteks kehidupan bangsa. Pendidik merupakan unsur dominan dalam suatu proses pendidikan, sehingga kualitas pendidikan banyak ditentukan oleh kualitas pendidik dalam menjalankan peran dan tugasnya di masyarakat
Dengan mengingat hal tersebut, maka jelas bahwa upaya-upaya untuk terus mengembangkan profesi pendidik (Guru) menjadi suatu syarat mutlak bagi kemajuan suatu bangsa, meningkatnya kualitas pendidik akan mendorong pada peningkatan kualitas pendidikan baik proses maupun hasilnya.

1. Pengembangan profesi Pendidik/Guru
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, nampak kecenderungan makin menguatnya upaya pemerintah untuk terus mengembangkan profesi pendidik sebagai profesi yang kuat dan dihormati sejajar dengan profesi lainnya yang sudah lama berkembang, hal ini terlihat dari lahirnya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini jelas menggambarkan bagaimana pemerintah mencoba mengembangkan profesi pendidik melalui perlindungan hukum dengan standard tertentu yang diharapkan dapat mendorong pengembangan profesi pendidik.

Perlindungan hukum memang diperlukan terutama secara sosial agar civil effect dari profesi pendidik mendapat pengakuan yang memadai, namun hal itu tidak serta-merta menjamin berkembangnya profesi pendidik secara individu, sebab dalam konteks individu justru kemampuan untuk mengembangkan diri sendiri menjadi hal yang paling utama yang dapat memperkuat profesi pendidik. Oleh karena itu upaya untuk terus memberdayakannya merupakan suatu keharusan agar kemampuan pengembangan diri para pendidik makin meningkat.

Dengan demikian, dapatlah difahami bahwa meskipun perlindungan hukum itu penting, namun pengembangan diri sendiri lebih penting dan strategis dalam upaya pengembangan profesi, ini didasarkan beberapa alasan yaitu :

• Perlindungan hukum penting dalam menciptakan kondisi dasar bagi penguatan profesi pendidik, namun tidak dapat menjadikan substansi pengembangan profesi pendidik otomatis terjadi

• Perlindungan hukum dapat memberikan kekuasan legal (legal power) pada pendidik, namun akan sulit menumbuhkan profesi pendidik dalam pelaksanaan peran dan tugasnya di bidang pendidikan

• Pengembangan diri sendiri dapat menjadikan profesi pendidik sadar dan terus memberdayakan diri sendiri dalam meningkatkan kemampuan berkaitan dengan peran dan tugasnya di bidang pendidikan

• Pengembangan diri sendiri dapat memberikan kekuasaan keahlian (expert power) pada pendidik, sehingga dapat menjadikan pendidik sebagai profesi yang kuat dan penting dalam proses pendidikan bangsa.
Oleh karena itu, pendidik mesti terus berupaya untuk mengembangkan diri sendiri agar dalam menjalankan peran dan tugasnya dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi kepentingan pembangunan bangsa yang maju dan bermoral sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

2. Strategi Pengembangan profesi Pendidik/Guru
Mengemengembangan profesi tenaga pendidik bukan sesuatu yang mudah, hal ini disebabkan banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, untuk itu pencermatan lingkungan dimana pengembangan itu dilakukan menjadi penting, terutama bila faktor tersebut dapat menghalangi upaya pengembangan tenaga pendidik. Dalam hubungan ini, faktor birokrasi, khususnya birokrasi pendidikan sering kurang/tidak mendukung bagi terciptanya suasana yang kondusif untuk pengembangan profesi tenaga pendidik.
Sebenarnya, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan, birokrasi harus memberikan ruang dan mendukung proses pengembangan profesi tenaga pendidik, namun sistem birokrasi kita yang cenderung minta dilayani telah cukup berakar, sehingga peran ideal sebagaimana dituntun oleh peraturan perundang-undangan masih jauh dari terwujud.

Dengan mengingat hal tersebut, maka diperlukan strategi yang tepat dalam upaya menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan profesi tenaga pendidik, situasi kondusif ini jelas amat diperlukan oleh tenaga pendidik untuk dapat mengembangkan diri sendiri kearah profesionilisme pendidik. Dalam hal ini, terdapat beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pengembangan profesi pendidik, yaitu :

• Strategi perubahan paradigma. Strategi ini dimulai dengan mengubah paradigma birokasi agar menjadi mampu mengembangkan diri sendiri sebagai institusi yang berorientasi pelayanan, bukan dilayani.

• Strategi debirokratisasi. Strategi ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkatan birokrasi yang dapat menghambat pada pengembangan diri pendidik
Strategi tersebut di atas memerlukan metode operasional agar dapat dilaksanakan, strategi perubahan paradigma dapat dilakukan melalui pembinaan guna menumbuhkan penyadaran akan peran dan fungsi birokrasi dalam kontek pelayanan masyarakat, sementara strategi debirokratisasi dapa dilakukan dengan cara mengurang dan menyederhanakan berbagai prosedur yang dapat menjadi hambatan bagi pengembangan diri tenaga pendidik serta menyulitkan pelayanan bagi masyarakat.

3. Pengembangan profesi tenaga pendidik dan arah perkembangan pendidikan di Indonesia
Banyak pakar yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih rendah dan ketinggalan, banyak faktor penyebabnya, dari mulai masalah anggara pendidikan yang kecil, sistem pendidikan yang masih perlu diperbaiki, sosial budaya masyarakat serta hambatan dalam implementasi kebijakan, namun yang jelas ini menunjukan bahwa masih diperlukannya kerja keras dalam membangun pendidikan di Indonesia guna mengejar ketertinggalannya dari negara lain.
Pada tataran makro, ketertinggalan dalam bidang pendidikan merupakan cerminan dari kebijakan nasional pendidikan, meskipun dalam tingkat praktisnya aspek kelemahan terjadi juga dalam implementasi kebijakan, sehingga meskipun kebijakan secara ideal mengarah pada upaya peningkatan kualitas pendidikan, namun implementasi dilapangan sering terjadi distorsi yang dapat mengurangi efektivitas pencapaian tujuan kebijakan itu sendiri.


Selain itu pandangan masyarakat yang mencerminkan nilai sosial budaya yang ada menunjukan arah yang kurang kondusif bagi peningkatan kualitas pendidikan, seperti pandangan bahwa mengikuti pendidikan hanya untuk jadi pegawai, pandangan ini akan mendorong pada pendekatan pragmatis dalam melihat pendidikan, dan ini tentu saja memerlukan kesadaran sosial dan kesadaran budaya yang berbeda dalam melihat outcome pendidikan. Pendidikan harus dipandang sebagai upaya peningkatan kualitas manusia untuk berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan, menjadi pegawai harus dipandang sebagai salah satu alternatif pilihan yang setara dengan pilihan untuk bidang-bidang pekerjaan lainnya, sehingga keterlibatan manusia terdidik dalam berbagai bidang kehidupan dan pekerjaan akan mendorong keseimbangan dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan berkualitas.

Berbagai bidang kehidupan di Indonesia ini banyak sekali, wilayah lautan, kesuburan tanah jelas dapat menjada dasar bagi pemilihan bidang pekerjaan yang dapat diambil oleh manusia terdidik, sehingga fokus untuk menjadi pegawai (lebih sempit lagi pegawai negeri) jelas merupakan sikap yang mempersempit bidang kehidupan, padahal bidang kehidupan itu sendiri sangat beragam, dan bagi bangsa Indonesia, potensi yang ada jelas memungkinkan manusia terdidik untuk berperan di dalamnya.
Dengan melihat hal tersebut, jelas bahwa peran pemerintah sangat besar dalam terbentuknya kondisi yang demikian, pengembangan sekolah yang kurang/tidak mengacu pada potensi yang dimiliki bangsa jelas berakibat pada timpangnya pemilihan peserta didik dalam memilih bidang pekerjaan/kehidupan, sehingga menjadi pegawai dianggap sebagai suatu pilihan yang paling tepat, meskipun bidang lain sebenarnya banyak menjanjikan bagi peningkatan kualitas kehidupan. Kondisi ini memang punya kaitan dengan kultur yang diciptakan penjajah Belanda, dimana mereka membuka sekolah untuk mendidik manusia menjadi pegawai (ambtenaar) rendahan yang diperlukan oleh Penjajah. Namun demikian upaya pembangunan pendidikan nasional sejak jaman kemerdekaan jelas mestinya telah mampu merubah cara berfikir demikian, hal ini tentu saja dapat terjadi jika pembangunan pendidikan nasional selalu mengacu pada potensi luhur yang dimiliki bangsa Indonesia.

Dalam kondisi ketertinggalan serta arah pendidikan yang tidak/kurang mempertimbangkan potensi luhur bangsa, peran tenaga pendidik menjadi sangat penting dan menentukan dalam tataran mikro pendidikan (Sekolah, Kelas). Untuk itu pengembangan diri sendiri tenaga pendidik akan menjadi landasan bagi penumbuhan kesadaran pada peserta didik tentang perlunya berusaha terus meningkatkan kualitas pendidikan diri serta mengarahkan nya pada kesadaran untuk melihat dan memanfaatkan potensi luhur bangsa dalam mengisi kehidupan kelak sesudah selesai mengikuti pendidikan.

Oleh karena itu pengembangan profesi pendidik akan memberi dampak besar bagi peningkatan kualita pendidikan yang sekarang masih tertinggal, serta memberi arah yang tepat pada peserta didik dalam berperan di masyarakat untuk ikut bersama masyarakat dalam membangun bangsa


4. Pengembangan profesi tenaga pendidik berbasis kemandirian dan marketing
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan profesi tenaga pendidik merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan serta arah pendidikan agar sesuai dengan potensi luhur yang dimiliki bangsa. Untuk itu pengembangannya perlu didasarkan pada kemandirian dan marketing. Kemandirian dimaksudkan agar dapat tumbuh kepercayaan diri pada tenaga pendidik atas kemampuan serta peranannya yang penting dalam pembangunan bangsa, sedangkan marketing dimaksudkan agar tenaga pendidik dapat menawarkan ide-idenya dengan epat sehingga dapat diterima oleh masyarakat, khususnya peserta didik.

Kemandirian pada dasarnya merupakan kemampuan untuk berani dalam mewujudkan apa yang menjadi keyakinannya dengan dasar keakhlian, kemandirian akan menjadi dasar yang memungkinkan seseorang mampu mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itu kemandirianmenjadi amat penting dalam konteks pengembangan profesi tenaga pendidik. Dengan kemandirian tenaga pendidik dapat lebih berani melakukan hal-hal yang inovatif dan kreatif sehingga proses pendidikan/pembelajaran akan lebih mendorong siswa untuk makin menyukai dan rajin belajar sehingga hal ini akan mendorong pada peningkatan kualitas pendidikan.

Selain basis budaya kemandirian, basis marketing juga perlu mendapat perhatian, ini dimaksudkan agar upaya-upaya pembangunan pendidikan tidak dilakukan asal saja, tetapi tetap memperhatikan aspek marketing, dimana salah satu hal yang penting di dalamnya adalah kualitas. Pengembanganprofesi tenaga pendidik jelas perlu memperhatikanaspek kualitas mengingat perkembangan persaingan dewasa ini menuntut upaya untuk terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan baik dalam proses maupun hasilnya.

5. Pengembangan profesi tenaga pendidik dan pendorong inovasi
Pengembangan profesi tenaga pendidik pada dasarnya hanya akan berhasil dengan baik apabila dampaknya dapat menumbuhkan sikap inovatif. Sikap inovatif ini kan makin memperkuat kemampuan profesional tenaga pendidik, untuk itu menurut Prof Idochi diperlukan tujuh pelajar guna mendorong tenaga pendidik bersikaf inovatif serta dapat dan mau melakukan inovasi, ketujuh pelajaran itu adalah sebagai berikut :
• Belajar kreatif
• Belajar seperti kupu-kupu
• Belajar keindahan dunia dan indahnya jadi pendidik
• Belajar mulai dari yang sederhana dan konkrit
• Belajar rotasi kehidupan
• Belajar koordinasi dengan orang profesional
• Belajar ke luar dengan kesatuan fikiran

Tujuh pelajaran sebagaimana dikemukakan di atas merupakan pelajaran penting bagi tenaga pendidik dalam upaya mengembangkan diri sendiri menjadi orang profesional. Dalam kaitan ini, ketujuh pelajaran tersebut membentuk suatu keterpaduan dan saling terkait dalam membentuk tenaga pendidik yang profesional dan inovatif.
Belajar kreatif adalah belajar dengan berbagai cara baru untuk mendapatkan pengetahuan baru, belajar kreatif menuntut upaya-upaya untuk terus mencari, dan dalam hal ini bercermin pada kupu-kupu amat penting, mengingat kupu-kupu selalu peka dengan sari yang ada pada bunga serta selalu berupaya untuk mencari dan menjangkaunya. Dengan belajar yang demikian, maka sekaligus juga belajar tentang keindahan dunia, dan bagian dari keindahan dunia ini adalah keindahaan indahnya jadi pendidik.
Pendidik adalah perancang masa depan siswa, dan sebagai perancang yang profesional, maka tenaga pendidik menginginkan dan berusaha untuk membentuk peserta didik lebih baik dan lebih berkualitas dalam mengisi kehidupannya di masa depan.
Untukdapat melakukan hal tersebut di atas, maka tenaga pendidik perlu memulainya dariyang kecil dan konkrit, dengan tetap berfikir besar. Mulai dari yang kecil pada tataran mikro melalui pembelajaran di kelas, maka guru sebagai tenaga pendidik sebenarnya sedang mengukir mas depan manusia, masa depan bangsa, dan ini jelas akan menentukan kualitas kehidupan manusia di masa yang akan datang. Dalam upaya tersebut pendidik juga perlu menyadari bahwa dalam kehidupan selalu ada perputaran atau rotasi, kesadaran ini dapat menumbuhkan semangat untuk terus berupaya mencari berbagai kemungkanan untuk menjadikan rotasi kehidupan itu sebagai suatu hikmah yang perlu disikapi dengan upaya yang ebih baik dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik.
Dalam upaya untuk memperkuat ke profesionalan sebagai tenaga pendidik, maka diperlukan upaya untuk selalu berhubungan dan berkoordinasi dengan orang profesioanal dalam berbagai bidang, khususnya profesional bidang pendidikan. Dengan cara ini maka pembaharuan pengetahuan berkaitan dengan profesi pendidik akan terus terjaga melalui komunikasi dengan orang profesional, belajar koordinasi ini juga akan membawa pada tumbuhnya kesatuan fikiran dalam upaya untuk membengun pendidikan guna mengejar ketinggalan serta meluruskan arah pendidikan yang sesuai dengan nilai luhur bangsa.